STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT ACEH
Nama
: Nurul Izzati
NIM
: 1610101010023
Mata
Kuliah : Sistem Sosial Budaya Masyarakat Aceh
UNIVERSITAS SYIAH
STRATIFIKASI SOSIAL YANG ADA DALAM
MASYARAKAT ACEH
PENDAHULUAN
Aceh merupakan suatu provinsi yang
terletak di ujung barat Indonesia. Aceh memiliki banyak kabupaten-kabupaten
yang tersebar diseluruh Aceh. Dalam kabupaten-kabupaten tersebut tentunya
memiliki penduduk ataupun masyarakat asli dari suatu kabupaten tersebut.
Ataupun lebih mudahnya dipahami dengan suku dari suatu daerah. Dalam masyarakat
Aceh terdapat golongan atas dan golongan bawah. Yang mana golongan atas
biasanya adalah kaum raja dan golongan bawah adalah orang biasa atau masyarakat
kebanyakan yang ada di Aceh. Antara golongan atas dan golongan bawah juga
terdapat lagi beberapa golongan ataupun lapisan seperti yang terdapat pada
masyarakat Aceh.
Masyarakat
Aceh pada zaman kerajaan dahulu dapat dibagi ke dalam empat lapisan lagi
ataupun yang termasuk dalam stratifikasi masyarakat Aceh, yaitu pertama, Golongan Raja yang berkedudukan sebagai
keturunan sultan-sultan yang pernah berkuasa. Dari dulu para golongan raja
ataupun keturunan dari keturunan raja sangatlah disanjung ataupun dihormati
berdasarkan kedudukan ataupun berdasarkan panggilan di nama mereka. Panggilan
yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon (teuku), dan cut. Namun pada
masa sekarang di akhir zaman ini, orang-orang yang teuku ataupun cut itu tidak
terlalu dipandang secara terhormat dan disegani, melainkan hampir sama
kedudukannya dengan masyarakat biasa, namun yang membedakan hanya galar pada
nama mereka. Kedua, Golongan ulee balang
yang keturunan dari golongan keluarga sultan, dan biasanya mereka bergelar
Teuku di nama mereka. Sekilas memang sama antara golongan raja dan golongan
ulee balang, namun yang membedakannya adalah golongan raja itu lebih
digolongkan kepada keturunan-keturunan awal kesultanan, sedangkan ulee balang
ini lebih mengacu kepada keturunan yang dibawahnya lagi, atau dapat dikatakan
sebagai cucu-cucunya. Ketiga, Golongan
ulama yang keturunan pemuka agama.
Golongan
ulama ini juga sangat dipentingkan dan sangat disanjungi dalam suatu
masyarakat, karena mereka menganggap bahwa keturunan-keturunan ulama akan
mewarisi ilmu keagamaannya. Selain itu juga, pada saat zaman kesultanan, ulama
ataupun keturunannya juga bisa mewakili penasihat agama dalam suatu kerajaan.
Biasanya mereka bergelar Teungku atau Tengku. Dan yang terakhir adalah Golongan Rakyat Biasa yaitu keturunan
yang berasal dari masyarakat suku Aceh biasa.
Dalam
hal ini akan membahas tentang bagaimana penjelasan dari gelar ataupun silsilah kekeluargaan
pada zaman kerajaan Aceh yang juga adanya stratifikasi dalam keturunan kerajaan,
bagaimana bentuk stratifikasi sosial yang ada dalam unit masyarakat,
stratifikasi sosial lembaga adat aceh serta perangkat-perangkatnya, dan bagaimana
dengan stratifikasi yang terdapat dalam unit masyarakat pada masyarakat Aceh :
Suku Bangsa Kluet dan Suku Bangsa Gayo?
PEMBAHASAN
Dalam memahami stratifikasi yang ada
dalam masyarakat Aceh tentu banyak sekali lapisan-lapisan maupun perbedaan
sosial yang terdapat didalamnya menurut dari segi pandangnya, seperti segi
suku, adat, budaya, dan sejarah keturunan, wilayah, sastra bahasanya, maupun
hukum-hukum tradisionalnya. Dari segi tersebut juga kita dapat memilah-milahnya
lagi dengan berbagai macam kabupaten yang ada di Aceh.
Suku
asli Aceh biasanya mereka sangat dikenal karena mereka adalah bagian ataupun
turunan-turunan dari kesultanan Aceh, dan sebagai keturunan bangsawan mereka
memiliki gear di nama mereka, seperti berikut ini :
1. Teuku
Teuku merupakan sebuah gelar bangsawan Aceh yang
diberikan kepada keturunan laki-laki dari bangsawan tersebut, yang mana
keturunan laki-laki itu memiliki kekuasaan memimpin wilayah nanggroe. Gelar
teuku ini juga bersifat turun-temurun, maksudnya seorang anak laki-laki mendapat
gelar teuku apabila ayahnya adalah seorang teuku. Lalu apa bedanya teuku dan
tengku/teungku?
Karena teuku merupakan gelar kebangsawanan maka tengku
adalah gelar keagamaan yang diberikan kepada ulama-ulama Aceh, ataupun
orang-orang yang kuat pemahamannya dengan agama islam. Apabila teuku hanya
dapat diturunkan kepada laki-laki, tengku dapat diturunkan kepada laki-laki
maupun perempuan. Tengku ini juga dapat berubah menjadi teuku apabila jabatan
keagamaannya itu dialihkan untuk jabatan pemerintahan daerah, namun tetap saja
hal itu memiliki perbedaan dalam stratifikasi sosialnya.
Zaman dulu, baik teuku maupun tengku benar-benar
diturunkan kepada yang benar-benar dapat menerimanya. Misalkan di contoh
tengku, tengku zaman dulu itu dinobatkan kepada orang-orang yang memang sangat
paham agama, beda dengan sekarang yang mana tengku dapat diberikan kepada anak
yang baru lahir, disini mungkin dimaksudkan untuk mendoakan anak tersebut agar
kelak menjadi orang yang paham agama seperti tengku zaman dulu. Atau ada juga
yang menurunkan gelar tengku untuk anaknya, padahal gelar tegku itu tidak untuk
di turunkan kepada keturunan, kecuali keturunannya itu sama dengan ayahnya
sebagai pemuka agama.
Jadi dapat dilihat stratifikasi ataupun perbedaan
lapisan antara teuku dan tengku, yang mana pada umumnya banyak sekali khususnya
orang luar Aceh yang menyamakan tengku dan teuku.
2. Cut
Cut ini juga sama dengan teuku, yang mana merupakan
gelar bangsawan Aceh namun gelar cut ini diberikan kepada keturunan perempuan.
Dalam masyarakat aceh banyak dijumpai nama orang yang bertulisan Cut, Tjut,
maupun Pocut. Padahal sebutan itu sama saja makna nya, yang membedakan hanyalah
tulisan dan pemakaian di masing-masing keluarga saja.
Gelar cut ini hanya dapat diberikan kepada
keturunannya apabila ayahnya adalah seorang Teuku, seperti yang dijelaskan di
atas tadi. Namun yang terjadi saat ini adalah banyak sekalidalam masyarakat
aceh yang bermunculan cut palsu, atau cut yang bukan berasal dari ayahnya.
Biasanya cut palsu ini diperoleh dari Ibu nya yang bangsawan cut dan menikah
dengan ayahnya yang rakyat biasa. Padahal ini jelas tidak lagi masuk kedalam
silsilah kekeluargaan cut dan teuku. Atau ada juga sebagian orang yang ingin
menamai anaknya cut padahal ibu dan ayahnya bukan berasal dari bangsawan Aceh,
hal ini dapat juga kita jumpai pada orang Aceh yang tinggal di luar Aceh,
mereka memberi nama cut agar dikenal sebagai orang Aceh.
Untuk memperluas ataupun mempertahankan garis
keturunan teuku maupun cut, zaman dulu seorang lelaki teuku harus menikahi
seorang perempuan cut untuk mempertahankan keturunannya, karena apabila cut
menikah dengan lelaki biasa maka ia tidak dapat mewariskan gelar cut maupun
teuku kepada anaknya. Atau ada juga yang seorang lelaki teuku menikahi
perempuan biasa untuk memperluas keturunan bangsawan mereka. Namun perempuan
biasa disini bukan dimaksudkan untuk perempuan yang benar-benar “biasa” saja,
melainkan perempuan yang bukan kaum bangsawan namun memiliki akhlak dan
perawakan yang baik, dan paham keagamaan.
3. Panglima
Sagoe
Panglima sagoe ini berupa gelar yang diberikan kepada
orang yang meneruskan pemerintahan jika raja nya meninggal, sementara anak dari
raja tersebut masih kecil
atau belum bisa menjabat sebagai raja selanjutnya.
Jadi panglima sagoe ini tidak selalu diangkat berdasarkan ia keturunan raja
maupun teuku, atau lebih mudahnya gelar ini diberikan kepada ‘tangan kanan’ nya
raja. Panglima Sagoe ini diikuti dengan angka, karena gelar ini diurutkan dari
masa ke masa.
Jadi
cukup jelas bahwa stratifikasi sosial yang kita lihat pada sililah keturunan
teuku dan cut ini, yang mana mereka benar-benar memiliki pandangan baik
terhadap rakyat biasa, atau mereka yang disanjung karena merupakan darah
bangsawan. Dapat disimpulkan juga bahwa stratifikasi orang biasa dapat juga
meningkat apabila ia menikah dengan keturunan teuku maupun cut. Dan
stratifikasi panglima sagoe ini terletak dibawah cut dan teuku.
Secara
umum, bentuk kehidupan masyarakat di Aceh di daerah terpencil atau unit
kecilnya dinamakan gampong (kampung atau desa), yang mana suatu gampong itu
tentunya memiliki kepala gampong atau dinamakan dengan Geuchik (kepala desa).
Di dalam suatu gampong terbagi lagi desa-desa ataupun sebagai penanda perbedaan
desa dalam suatu gampong di masyarakat Aceh biasanya adanya Meunasah (Mushalla
kecil) yang mana juga dikepalai oleh Imum Meunasah. Unit di atas gampong adalah
mukim, mukim ini merupakan kumpulan dari gampong-gampong yang se-daerah dan
mukim ini dikepalai oleh Imum mukim. Dan pada zaman dulu mukim dipimpin oleh
Ulee Balang atau panglima kesultanan.
Jadi
kepala-kepala yang disebut diatas tadi sebisa mungkin haruslah dipilih
orang-orang yang beragama dan orrang
yang dituakan atau orang yang sangat dihormati dalam gampong tersebut, biasanya
orang dipilih ini merupakan orang yang sudah tua ataupun penduduk asli dari
gampong tersebut, dalam artian juga ia paham agama secara luas terlebih agama
islam, orang yang alim, dan juga orang yang langsung turun tangan dengan sesama
masyarakat. Dengan begitu masyarakat yang berada dalam satu mukim ataupun satu
gampong akan lebih kental rasa terhadap agama, dan jadi pemersatu antara satu
gampong dengan gampong yang lain. Selain paham agama, juga harus dipilih
orang-orang yang benar-benar mengerti adat dalam gampong tersebut, agar apabila
terjadi suatu hal yang bertentangan dengan adat, maka Geuchik ataupun Imum
mukim harus bisa membenahi masalah tersebut.
Pembagian
wilayah mukim dan gampong dilakukan berdasarkan adanya fungsi-fungsi tertentu,
namun yang terjadi adalah fungsi-fungsi tersebut berjalan tidak sesuai dengan
ketetapan. Karena itu perlu adanya kesepakatan yang diperoleh dari musyawarah
masyarakat Aceh agar fungsi tersebut dalam kembali berjalan sesuatu ketetapan.
Lembaga
adat pemerintahan di gampong dan mukim yang ada dalam masyarakat aceh memiliki
sebutan-sebutan tersendiri dan juga menjadi tingkatan stratifikasi dalam
masyarakat Aceh, yaitu :
1. Panglima
Laot
Panglima Laot merupakan suatu kelembagaan
dalam masyarakat Aceh yang berkaitan dengan hukum dan adat yang mengatur juga
mengelola masalah yang berkaitan dengan kelautan pada suatu daerah. Dalam
struktur pekerja ataupun penjaga laut ini memiliki stratifikasi yang dapat kita
lihat dari Panglima Laot itu sendiri yang tentu memiliki hak dan kekuasaan
tinggi. Setelahnya ada Nelayan, dimana nelayan apabila dirincikan lagi memiliki
pembagian antara nelayan yang memiliki boat dan yang tidak memiliki. Nelayan
yang memiliki boat biasanya lebih terpandang tinggi dikarenakan ia memiliki
alat sendiri untuk mencari ikan, sedangkan nelayan yang satunya lagi ini
biasanya digolongkan dengan nelayan biasa yang bekerja dengan alat seadanya.
2. Keujreun
Blang
Keujreun Blang merupakan lembaga adat dan hukum yang
mengatur segala suatu yang berhubungan dengan persawahan. Mengenai profesi,
keujreun blang ini dipandang sebagai stratifikasi yang tinggi, dimana ia dapat menentukan hari turun ke sawah,
merangkup hasil panen, dan lain sebagainya. Dibawah Keujereun Blang terdapat
para petani, para petani ini juga apabila dirincikan memiliki tingkatan
stratifikasinya lagi, petani yang pertama adalah petani yang memiliki tanah
atau sawah sendiri yang ia gunakan untuk menanam padi yang hasilnya nanti akan
ia gunakan untuk diri sendiri ataupun dijadikan sebagai sumber pencahariannya
dalam artian menjualnya. Petani yang kedua adalah petani yang bekerja seperti
petani biasanya namun ia bekerja di sawah maupun tanah milik orang lain.
3. Sineubok
Sineubok merupakan lembaga adat yang berada dibawah
mukim yang mengatur segala sesuatu hal yang berhubungan dengan perkebunan.
Dalam sineubok ini sebenarnya stratifikasinya hampir sama dengan stratifikasi
yang terdapat dalam keujreun blang. Namun yang membedakannya adalah orang yang
memimpin sineubok ini memiliki sebutannya yaitu Peutua Sineubok.
4. Panglima
Uteun
Panglima Uteun merupakan lembaga adat yang
mengatur berhubungan dengan yang terjadi di hutan. Di dalam panglima uteun
terdapat macam-macam pawang, pawang adalah orang-orang yang memiliki keahlian
di bidangnya. Bentuk stratifikasi dalam panglima uteun ini dapat dilihat dari
kelas-kelas pawangnya, contohnya seperti
adanya Pawang Gle, pawang ini ahli yang berkaitan dengan hewan. Jadi didalam
pawang gle ini terdapat lagi anak-anak pawangnya, seperti Pawang Rimeung yang
ahli dengan harimau, Pawang Gajah, Pawang Rusa, dan berbagai macam pawang
lainnya.
5. Haria
Peukan
Haria peukan merupakan lembaga adat yang
mengatur masalah keseharian yang ada dalam pasar, haria peukan ini juga
memiliki kewenangan untuk menentukan hari peukan atau hari pasar dalam suatu
daerah, misalkan di daerah Tabalui, hari pasar mereka adalah hari kamis. Dalam
haria peukan ini terbagi lagi bagian-bagian yang mengumpulkan pajak, maupun
menjaga keamanan dan ketertiban pasar. Bentuk stratifikasi dalam haria peukan
ini juga berhubungan dengan stratifikasi yang ada dalam panglima laot, keujreun
blang, dan sineubok. Hubungannya dengan lembaga tersebut adalah dalam lembaga
mereka memiliki lapisan akhir yang mana mereka menjual hasil dari tangakapan
maupun tanaman mereka.
Selain
lembaga adat yang dijelaskan seperti diatas, dalam masyarakat Aceh juga ada
perangkat adat, yaitu orang-orang yang memimpin bahkan mengatur daya di lembaga
adat pada bidangnya masing-masing. Dalam perangkat ini juga terdapatnya
stratifikasi sosial, berikut penjelasannya:
1. Tuha
Peut
Tuha peut merupakan orang yang memberi pertimbangan
dan mengambil keputusan tentang rapat mukim. Ini sering terjadi di
gampong-gampong apabila sedang diadakan rapat gampong maupun rapat mukim, pasti
ada tuha peut sebagai pelurusnya atau bisa dikatakan sebagai hakimnya. Tuha
peut ini terdiri dari beberapa lapisan atau stratifikasi juga, yaitu: Pertama,
masyarakat. Masyarakat ini dalam artian hanya sebagai rakyat biasa dalam suatu
gampong, namun biasanya yang disebut masyarakat disini lebih mengacu kepada
bapak-bapak, atau orang yang sudah lumayan tua. Kedua, kalangan pemuda gampong,
yang mana pemuda gampong ini juga dibutuhkan dalam rapat mukim atau rapat
gampong, karena biasanya mereka adalah pemersatu suara dikalangan para pemuda kalangan
gampong. Ketiga, pedagang dan kalangan petani, biasanya kehadiran mereka yang
diasingkan karena profesi ini tergantung dengan rapat apa yang diadakan, namun
apabila rapat tersebut tidak bersangkutan dengan profesi mereka, biasanya mereka
dihadirkan ke dalam msyarakat biasa.
2. Tuha
Lapan
Tuha Lapan merupakan orang yang berada pada tingkat
mukim yang merupakan pembawa suara dari masyarakat. Jadi lebih jelas dipahami
Tuha lapan ini adalah orang yang membawa hasil keputusan pada rapat mukim atau
rapat gampong kepada geuchik.
3. Geuchik
Geuchik adalah orang yang memiliki kedudukan tingkat
tertinggi di gampong. Berbeda lagi dengan Imum Mukim yang kedudukannya
merupakan tingkat tertinggi di mukim. Jadi stratifikasi Imum Mukim lebih tinggi
dari Geuchik.
Sedangkan
Tengku Imum, Tengku Khatib, Tengku Sagoe, dan Tengku Bileu ini adalah
orang-orang yang dipercaya untuk masalah keagamaan. Namun perbedaan
stratifikasi mereka adalah:
a. Tengku
Imum
Tengku
Imum berada di stratifikasi paling atas diantara 3 tengku lainnya. Secara
khusus ia ditugaskan untuk menjadi imum shalat di meunasah ataupun mesjid
gampong. Namun secara umum, terkadang ia juga bisa menyandang sebagai tengku
khatib, dimana ia ditugaskan untuk memberikan khutbah ataupun ceramah.
b. Tengku
Khatib
Seperti
yang dijelaskan diatas, bahwasannya tengku khatib ini bertugas untuk menjadi
penceramah. Namun menurut saya, semua itu tergantung kepada pengurus meunasah
di gampong tersebut yang menentukan siapa imum dan khatibnya pada saat-saat
tertentu.
c. Tengku
Sagoe
Tengku sagoe ini
secara umum juga bisa menjadi penasehat gampong, namun terkadang juga ia
menyandang tugas sebagai pembawa ngaji ataupun tahlil pada acara adat tertentu,
misalkan seperti acara tahlil orang meninggal. Walaupun tidak disemua daerah
memiliki adat serupa.
Suku
kluet merupakan salah satu suku yang terdapat di Kabupaten Aceh Selatan, namun
suku ini juga merupakan adanya perbauran diantara beberapa suku bangsa
pendatang, karena suku ini sekilas memang sangat banyak memiliki persamaan dengan
suku bangsa Alas dan Karo. Suku kluet ini hidup secara berkelompok dan
terpusat, suku ini juga tersebar atas 2 bagian yaitu Kluet Timur yang ibu kota
nya ada di kecamatan Paya Dapur dan Kluet Tengah yang ibu kota nya di kecamatan
Menggamat, yang mana masing-masing kecamatannya memiliki suatu pemukiman. Suku
ini juga terbilang cukup unik karena mereka memiliki budaya yang berbeda dengan
suku budaya lain. Orang-orang suku kluet ini terletak pada pinggiran gunung dan
jauh dari pusat kota, karena itu juga suku ini masih terbilang alami dan tidak
mudah mengikuti arus modernisasi. Mereka juga dapat digolongkan sebagai suku
yang tidak maju, dikarenakan mereka hanya terfokus pada bidang pendidikan
sehingga membuat generasi mereka menjadi generasi yang sangat diperhitungkan
dalam masyarakat luas.
Dalam
unit masyarakat suku kluet ini juga hampir mirip dengan suku aceh asli, dimana
mereka juga memiliki meunasah disetiap gampongnya, namun dalam bahasa mereka
disebut meursah. Selain itu mereka memiliki deyah atau tempat pengajian untuk
kalangan wanita, dan rangkang untuk tempat bermalam para laki bujangan.
Stratifikasi
dalam masyarakat suku kluet ini dapat kita lihat pada rumah-rumah penduduknya,
selain terbilang unik, ini juga dapat menjadi penanda bagi mereka sendiri.
Rumah mereka biasanya dibedakan berdasarkan marga penghuni rumah tersebut.
Contohnya seperti : Marga Selian, orang yang bermarga selian akan menempati
rumah yang berbentuk jom, denah, rungko, atau kerto. Nama rumah rungko
diberikan oleh Raja T. Nyak Tia, pada saat dulu tujuan utama dibangun rumah ini
adalah untuk jadi tempat tinggal raja, namun selain itu juga dipergunakan untuk
menjadi tempat musyawarah kerajaan. Selain marga selian, ada juga Marga Pinem.
Marga Pinem ini juga memiliki rumah dengan nama Meragi. Dan terakhir ada Marga
Mencawan yang membangun rumah mereka berbentuk melon.
Selain
melihat stratifikasi dalam segi rumah masyarakat suku kluet, kita juga dapat
melihat dari segi garis keturunannya. Garis keturunan mereka hampir sama dengan
orang batak, yang mana mereka harus menikah dengan orang yang berbeda marganya,
tidak seperti keturunan raja teuku dan cut seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Hubungan kekerabatan yang terkecil pada suku bangsa kluet disebut
jabu atau rumah tangga. Dalam rumah tangga atau jabu yang lengkap tentunya ayah
yang menjadi kepala rumah tangga, yang bertanggung jawab terhadap kehidupan dan
pekerjaannya, karena dalam suku kluet banyak sekali yang bekerja sebagai
petani, maka kebayanyakan kepala rumah tangga nya adalah petani. Tidak hanya
itu, dalam keluarga atau jabu ini semua terlibat dalam bertani, termasuk ibu
dan anaknya. Stratifikasi dalam jabu ini
kurang terlihat karena mereka memiliki kedudukan yang terlihat seperti setara.
Hubungan
kekerabatan yang lebih luas yang meliputi saudara kandung, sepupu yang berasal
dari ayah maupun ibu, keponakan, dan saudara atau ipar yang lebih dominan dari
sebelah istri. Dalam kehidupan sosial dan berlekuarga diantara sesama mereka
biasanya bersifat saling membantu satu sama lain.
Hubungan
kekerabatan yang paling luas dari segala huungan kerabatan lainnya dilihat
berdasarkan persamaan keturunannya atau marganya. Secara umum, orang suku kluet
memiliki beberapa marga, seperti yang sudah sedikit dijelaskan diatas bahwa
mereka mereka memiliki marga selian, sebayang, munthe, pelis, mencawan, dan
pinem. Stratifikasi dalam marga ini dapat kita lihat dari yang paling tua,
yaitu marga pinem yang merupakan marga dari keturunan Teuku Kilat Faja.
Keturunan Teuku Kilat Faja diberi gelar Keujreun, sedangkan keturunan Raja
Anggang diberi gelar Teuku Imam Balai. Kedua keturunan tersebut tergolong
golongan yang terpandang oleh kalangan masyarakat sekarang. Golongan lain yang
juga terpandang adala golongan orang-orang yang ahli adat, alim ulama, dan orang
yang teridik.
Struktur
unit pemerintahan dalam suku kluet ini adalah kampung atau desa, Kepala desa
yang merupakan kedudukan tertinggi dalam kampung disebut keucik. Untuk menjadi
seorang keucik, maka adanya pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat kampung
yang bersangkutan. Sebagai keucik tentunya ia memiliki bawahan ataupun
perangkat-perangkatnya, yang dapat juga dikatakan sebagai stratifikasi sosial,
yaitu:
1. Teungku
Meursah
Teungku mursah ini secara umum hampir sama tugasnya
dengan teungku imum yang mana memiliki kewajiban untuk melaksanakan shalat di
meursah (meunasah) secara berjamaah, dan biasanya teungku meursah ini yang akan
menjadi imam nya. Selain menjadi imam ia
juga mengajarkan anak-anak di kampung itu untuk membaca Al-Quran, saat ada
orang yang meninggal dia adalah orang yang akan memberitahukan kepada seluruh
warga kampung sekaligus saat acara pemakamannya ia menjadi pembicara atau
merangkup sebagai penasihat keluarga yang ditinggalkan pula, juga dipercaya
sebagai orang yang menyelenggarakan kenduri maupun tahlilan. Dan yang terakhir
ia juga dapat membantu keucik memecahkan permasalahan di kampung itu.
2. Keujreun
Blang
Keujreun Blang dalam suku kluet ini juga sama dengan
yang sudah dibahas sebelumnya bahwa kejreun blang ini yang akan mengurusi
masalah yang berkaitan dengan persawahan. Secara rinci tugasnya dibagi seperti:
membuat irigasi dan bendungan, pembagian air untuk pengairan ke sawah, membuat
jalan untuk turun ke sawah, serta menyelesaikan apabila terjadi permasalahan
dalam hubungan kegiatan bersawah.
Tingkat
yang lebih tinggi lagi dari kampung adalah mukim, yang mana mukim ini adalah
gabungan dari beberapa kampung setempat. Mukim ini juga memiliki peran-perannya
yaitu dalam menyelenggarakan shalat jumat, menyelesaikan permasalahan yang
terjadi antara satu kampung dengan kampung lain yang berada dalam satu wilayah
mukim, serta menjadi perantara dari camat dan keucik. Dan tingkat lebih tinggi
lagi sama seperti di daerah lainnya yang terdapat camat, bupati, dan gubernur.
Suku
Gayo berasal dari pemukiman warga mereka yang menyebar ke wilayah Kabupaten
Aceh Tengah. Kecamatan-kecamatan Blangkejeren, Kuta Panjang, Rikit Gaib, dan
Teragon, yang mana semua wilayah tersebut termasuk dalam wilayah Aceh Tenggara,
serta kecamatan Serbajadi yang terletak di Kabupaten Aceh Timur. Banyak sekali
yang beranggapan bahwa seakan-akan suku gayo itu terbagi dalam 3 kelompok atau
stratifikasi, yaitu:
1. Orang
Gayo yang tinggal di Kabupaten Aceh Tengah, mereka sering disebut dengan Orang
Gayo Lut.
2. Orang
Gayo yang tinggal di keempat wilayah
kecamatan di Aceh Tenggara, mereke disebut dengan Orang Gayo Lues atau Orang
Gayo Belang.
3. Orang
Gayo yang tinggal di Kecamatan Serbajadi atau Orang Gayo Seumamah.
Tetapi,
jika dilihat lagi dari segi latar belakang sejarahnya, semua orang gayo yang
ada sekarang ini sebenarnya berasal dari 4 kerajaan utama di zaman dulu. Salah
satu diantaranya adalah Kerajaan Syiah Utama yang berpusat di Nosar. Sedangkan
yang lainnya adalah Kerajaan Lingge yang berpusat di Isaq. Sedangkan yang
ketiga adalah kerajaan Bebesen yang berpusat di Kebayakan. Namun lama-kelamaan
setelah Indonesia merdeka, keempat kerajaan itu melebur dan membentuk wilayah
Kabupaten Aceh Tengah, dengan pusat administrasi pemerintahannya terletak di
Takengon.
Garis
keturunan orang Gayo diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral. Pada zaman
dulu, terdapat perbedaan antara Orang Gayo Lues dan Cik dengan Orang Gayo
Bukit, yang masing-masing memperhitungkan garis keturunannya berdasarkan
prinsip patrilineal dan matrilineal. Dalam sistem perkawinan, mereka
menjalankan sistem menikah dengan orang luar suku, kaum, ataupun belah. Belah
merupakan suatu kelompok persekutuan hidup yang didalamnya tediri atas gabungan
keluarga luas. Karena itu mereka mengaggap bahwa anggota belah merupakan saudara
mereka sendiri.
Sistem
Perkawinan pada suka bangsa gayo pada umumnya dibedakan antara kerje ango (
juelen), kerje angkap, dan kerje kuso kini. Pada sistem perkawinan kerje ango,
isti dan anak-anaknya termasuk kedalam belah suami. Untuk jenis perkawinan ini
pihak wanita menyebutnya dengan istilah juelen (jual). Seorang wanita yang
kawin juelen melangsungkan hidup rumah tangganya dalam lingkungan suaminya
Sedangkan kerje angkap merupakan kebalikan dari kerje ango, yang mana suami
yang masuk ke dalam lingkungan istri. Dan yang terakhir pada sistem perkawinan
kerje kuso kini (kesana-kemari) yang terdapat kebebasan dalam memilih tempat menetap yang diinginkan setelah
menikah.
Sistem
stratifikasi sosial orang Gayo mengenal empat tingkatan, yaitu :
1. Reje
: Para bangsawan
2. Imem
: Para pemuka agama
3. Petue
: Para cendikiawan
4. Rakyat
: Orang biasa
Akan
tetapi, sistem stratifikasi sosial mereka umumnya didasarkan kepada tingkatan
derajatnya. Maksudnya, orang yang memperlihatkan derajat yang tinggi dalam
masyarakat akan menempati status sosial yang tinggi pula. Dalam hal ini,
golongan masyarakat yang dipandang mempunyai kedudukan yang tinggi adalah
orang-orang yang alim ulama, orang terdidik, dan para ahli adat. Pada urutan
berikutnya terdapat penguasa, orang jujur, dan orang tua kampung. Kedudukan
alim ulama sebagai orang yang terpandang dalam masyarakat tampak sangat
menonjol dikalangan orang Gayo Lues.
Dalam
unit masyarakat gayo juga terdapat lembaga pemerintahan tradisional sarak opat,
yang berfungsi sebagai badan musyawarah, peradilan, dan pelaksanaan pemerintah
kampung. Lembaga sarak opat terdiri dari beberapa perangkatnya, yang mana untuk
terpilih menjadi perangkat sarak opat ini juga diperlukan syarat-syarat
tertentu, seperti:
1. Reje
(Penghulu)
Sebagai seorang reje harus berlaku adil dan bijaksana
terhadap semua golongan masyarakat. Dalam masyarakat gayo, syarat untuk menjadi
reje disebut musukat sifet. Dalam memecahkan sebuah masalah yang terjadi dalam
masyrakat reje ini sangatlah berperan penting dalam membuat keputusan dan
menegakkan hukum dalam masyarakatnya. Dalam hal ini juga reje dibantu oleh
perangkat-perangkatnya yang lain untuk mempertimbangkan sebuah hasil keputusan.
2. Petue
Sebagai seorang petue ini sangat diharuskan
orang-orang yang cerdik serta teliti dalam menjalankan kewajibannya
menyeleidiki dan mengatasi masalah
sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam msyarakat gayo, mereka menyebutkan
syarat tersebut adalah musidik sesat. Peran petue ini juga tidak kalah penting,
karena jika tidak ada petue ini maka untuk menemukan titik permasalahan ataupun
meneliti secara mendalam tentang suatu masalah ini akan menjadi rumit.
3. Imem
Imem merupakan orang yang menguasai hukum agama
ataupun paham agama. Dalam masyarakat gayo, syarat ini disebut perlu sunah.
Imem memiliki kewajiban untuk menyelesaikan permasalahan yang tentunya
berkaitan dengan agama. Sebagai contohnya kita dapat melihat pada kasus
perzinaan ataupun perceraian. Dalam kasus perzinaan tentu ini adalah perbuatan
yang sangat menyimpang bahkan dilarang dalam agama manapun. Jadi imem disini
sangat diperlukan untuk membantu menyelesaikan masalah ini secara hukum agama.
4. Sandere
Sandere
merupakan orang-orang yang dipilih sebagai perwakilan dari rakyat biasa atau
disebut dengan genap mufakat. Peran sandere ini lebih mudah dipahami sebagai
pelengkap ataupun saksi apabila dibentuk suatu rapat.
Pada
zaman dulu, status sebagai reje, petue, dan imem ini bersifat turun menurun dan
mereka merupakan orang-orang dari kelompok elit atau kelas tinggi dalam suatu
masyarakat. Orang-orang yang menempati status itu haruslah berasal dari belah
tertentu. Dalam hal ini, yang menjadi reje itu biasanya orang dari belah cik
atau keturunan raja. Yang menjadi petue adalah dari belah mude. Dan yang
menjadi imem juga merupakan dari belah imem. Akan tetapi sekarang, lembaga
sarak opat lebih disesuaikan dengan sistem pemerintahan desa yang berlaku di
Indonesia pada umumnya. Keturunan reje digati dengan kepala desa atau keucik,
petue digantikan dengan sekdes atau sekretasis desa. Asal usul orang-orang yang
diangkat menjadi perangkat desa tidak lagi berketergantungan dengan keturunan
atau belah tertentu. Namun yang lebih dipentingkan adalah kemampuan yang
dimiliki dalam pribadinya.
Komentar
Posting Komentar